Dear Sahabat,
Ini  adalah cerita fiksi dari penulis yang sebenarnya sangat tidak mungkin  terjadi. Tetapi mari kita berandai-andai, seandainya bisa untuk saling  merasakan, tujuan dari cerita fiksi ini adalah dengan tujuan untuk  saling mengerti juga saling pengertian antara suatu beban pekerjaan yang  sebenarnya terlihat sepele tetapi mempunyai kemuliaan yang tersembunyi.
Seorang  suami yang usai beribadah lalu berdoa, “Tuhan, dari hari senin sampai  dengan sabtu saya harus bekerja dari siang bahkan hingga larut malam,  kesemuanya saya lakukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga juga kebutuhan  istri saya. Tetapi saya melihat, istri saya sangat nikmat hidupnya. Ia  tak pernah bekerja keras seperti saya, dia hanya dirumah dan duduk-duduk  bersama anak saya. Sementara saya harus pulang malam bahkan terkadang  hari minggu pun saya harus bekerja. Saya tidak terima. Saya ingin  memberinya pelajaran, tolonglah ubah saya menjadi seorang istri dan ubah  istri saya menjadi suami, karena biar istri saya juga mengetahui dan  merasakan apa yang saya rasakan saat ini.”
Tuhan hanya tersenyum melihatnya berdoa yang bahkan tak pernah ada seorang suami yang berdoa seperti ini. Permohonannya telah dikabulkan oleh Tuhan.
Tuhan hanya tersenyum melihatnya berdoa yang bahkan tak pernah ada seorang suami yang berdoa seperti ini. Permohonannya telah dikabulkan oleh Tuhan.
Keesokan  kehidupan baru dimulai, suami yang telah berubah menjadi istri itu  terbangun dan cepat-cepat ke dapur untuk menyiapkan sarapan dan ia  membangunkan kedua anaknya untuk mandi dan siap-siap ke sekolah.
Ia mengumpulkan baju-baju kotor ke dalam mesin cuci dan langsung mencucuinya. Setelah suami (istri yang telah diubah oleh Tuhan) dan anak pertamanya berangkat, ia mengantar anaknya yang kecil ke sekolah taman kanak-kanak yang lumayan jauh dari rumahnya.
Pulang dari mengantar anak bungsunya, ia mampir ke pasar untuk belanja yang harus dimasak dirumah. Sesampainya, setelah menolong anaknya ganti baju, ia menjemur pakaian lalu memasak untuk makan siang.
Selesai memasak, ia mencuci piring kotor dan peralatan yang telah dipakai memasak. Begitu anaknya yang pertama pulang, ia makan siang bersama kedua anaknya.
Tiba-tiba ia teringat itu hari terakhir dan ia harus membayar listrik, air dan telepon. Bergegas ia pergi ke tempat pembayaran dengan membawa kedua anaknya. Dengan bersusah payah, harus memerhatikan anaknya selama perjalanan, juga harus menggendong anak bungsunya.
Ia mengumpulkan baju-baju kotor ke dalam mesin cuci dan langsung mencucuinya. Setelah suami (istri yang telah diubah oleh Tuhan) dan anak pertamanya berangkat, ia mengantar anaknya yang kecil ke sekolah taman kanak-kanak yang lumayan jauh dari rumahnya.
Pulang dari mengantar anak bungsunya, ia mampir ke pasar untuk belanja yang harus dimasak dirumah. Sesampainya, setelah menolong anaknya ganti baju, ia menjemur pakaian lalu memasak untuk makan siang.
Selesai memasak, ia mencuci piring kotor dan peralatan yang telah dipakai memasak. Begitu anaknya yang pertama pulang, ia makan siang bersama kedua anaknya.
Tiba-tiba ia teringat itu hari terakhir dan ia harus membayar listrik, air dan telepon. Bergegas ia pergi ke tempat pembayaran dengan membawa kedua anaknya. Dengan bersusah payah, harus memerhatikan anaknya selama perjalanan, juga harus menggendong anak bungsunya.
Sepulangnya dari bank, ia harus menyetrika baju sambil nonton tv. Sore hari ia harus menyiram tanaman di belakang rumah dan membantu mengerjakan PR anak-anaknya.
Sampailah  pada jam sembilan malam dan ia sangat merasa kelelahan dan tidur  terlelap, dan ia masih harus bangun ditengah malam membuat susu untuk  anak bungsunya. 
Satu hari menjalani peran sebagai istri ia langsung sadar dan sudah tidak tahan lagi. 
Dan  menadah tangan sambil berdoa lagi, “Tuhan, ampunilah saya. Ternyata  selama ini saya salah menilai istri saya. Saya tidak kuat lagi menjalani  peran sebagai istri. Saya mohon kembalikanlah sebagai suami lagi.”
Tuhan hanya tersenyum, “Tentu saja bisa, tetapi tidak sekarang ya, karena kamu dalam keadaan hamil. Butuh waktu sembilan bulan lagi”
Tuhan hanya tersenyum, “Tentu saja bisa, tetapi tidak sekarang ya, karena kamu dalam keadaan hamil. Butuh waktu sembilan bulan lagi”
*****
Well guys,
Seperti  disampaikan diawal cerita, ini hanya cerita fiksi. Moral cerita  sebenarnya adalah, hanya mengingatkan bagi yang terlupakan, atau mungkin  memberi tahu bagi yang sebenarnya sudah tahu tetapi hanya dianggap  angin lalu.
Percayalah,  tugas sebagai seorang Istri juga seorang Ibu itu adalah mulia, ia tak  pernah mengeluh dalam kesehariannya, ia tak pernah bosan dengan  rutinitas yang begitu-begitu saja sampai hayat hidupnya, ia hanya  mengenal ikhlas dalam mengerjaan setiap pekerjaannya dan ia tak pernah  bakal mengenal kata ngeluh, bosan, monoton. Yang ia tahu hanya bagaimana  menjaga kehidupan pada sebuah sarang kehidupan dalam meraih kebahagiaan  untuk Suami juga seorang Ayah juga sibuah hati. Tidak lebih dan itu  saja.
Terimakasih Ibuku, Terimakasih Istriku, kalian adalah perempuanku paling hebat..
Terima kasih juga buat sang suami... 
 
 
No comments:
Post a Comment